Banjir yang terjadi di Jakarta
awal bulan ini telah memberi dampak negatif paling parah dan lama dibandingkan
dengan banjir yang pernah ada dan melanda Jakarta selama ini.
Banyak yang percaya bahwa banjir
besar ini merupakan siklus lima tahunan, setelah sebelumnya terjadi pada awal
Februari 2002. Efek yang diakibatkannya juga hebat.
Namun, nampaknya tidak banyak
pelajaran yang diambil dari akibat banjir-banjir terdahulu, bahkan ruang kosong
yang tersisa di Jakarta semakin sedikit, sehingga tidak cukup lahan lagi yang
tersedia untuk menyerap air hujan.
Di Bogor juga sama saja, di
puncak bukit telah banyak berdiri bangunan. Kondisi ini memudahkan terjadinya
longsor dan banjir pada musim hujan. Karena Bogor berada di ketinggian, jelas
kawasan ini akan mengalirkan air hujan yang tidak terserap tanah ke Jakarta dan
sekitarnya. Akibatnya, hujan yang tidak terlalu lama pada 2 Februari lalu telah
membuat 60% wilayah Jabodetabek tenggelam.
Patut diketahui bahwa 90% dari
kerugian yang berhubungan dengan bencana alam diakibatkan oleh banjir. Dengan
demikian, sudah selayaknya manajemen banjir di Jakarta dibuat secara khusus,
agar banjir tidak terjadi berulang-ulang. Harapannya, efeknya tidak lagi
memberikan kerugian ekonomi secara signifikan.
Bagi perbankan, manajemen banjir
yang baik juga akan mengurangi potensi kerugian yang ditimbulkan dari pemburukan
kualitas kredit (non performing loan/NPL), sebagai akibat dari tidak optimalnya
operasional bisnis debitor.
Jika dihitung potensi kerugian
yang ditimbulkan oleh banjir pada awal Februari yang lalu, dapat dilakukan
simulasi perhitungan sebagai berikut. Dari kredit yang sudah disalurkan
perbankan sampai November 2006 secara nasional adalah Rp761.563 miliar, di mana
40% di antaranya berada di Jabodetabek.
Sebagai akibat banjir tersebut,
60% Jakarta tenggelam, berarti equivalen sebanyak itu juga bisnis debitor yang
menghadapi persoalan operasional. Dengan kata lain, sebanyak 24% (60% dikalikan
40%) debitor akan mengalami kesulitan cash flow untuk memenuhi kewajiban
perbankannya.
Kemudian, karena 90% kerugian
ekonomi disebabkan oleh bencana alam adalah kerugian yang diakibatkan oleh
banjir, berarti sebesar 21,6% (90% dikalikan 24%) kredit yang ada di Jakarta
berpotensi untuk menjadi bermasalah. Artinya, bank akan membukukan kerugian
(biaya), karena pembentukan cadangan atas kreditnya.
Dalam rupiahnya adalah sekitar
Rp164.498 miliar. Jika perbankan membukukan pencadangannya sebesar rata-rata
50% saja (kalau kredit dengan kolektibilitas macet, pencadangan biaya menjadi
100%), potensi kerugian adalah sekitar Rp80 triliun, suatu jumlah yang sangat
fantastis. Selanjutnya, berapa kesempatan kerja yang hilang, baik yang permanen
maupun untuk sementara.
Pada akhirnya, ini akan
menciptakan multiplier effect, di mana sektor riil akan kembali terpuruk,
terutama untuk yang di Jakarta. Padahal, sektor riil saat ini memang belum
bangkit, terbukti absorbsi kredit oleh mereka rata-rata secara nasional baru
sekitar 67%.
Restrukturisasi
Untuk mengantisipasi kerugian
tersebut bagi pihak perbankan, restrukturisasi kredit harus dilakukan. Dan,
restrukturisasi kredit ini harus dilakukan per masing-masing debitor, sesuai
dengan kondisi usahanya dan proyeksi cash flow yang akan dihasilkan.
Perlakuan seperti ini jauh lebih
adil, karena ia tidak akan menimbulkan kecemburuan kepada debitor-debitor yang
tetap tertib dan aktif membayar kewajibannya kepada bank, sekalipun usahanya
dalam kondisi yang memprihatinkan.
Dalam kondisi seperti ini, bank
harus aktif untuk menemukan alternatif restrukturisasi dan mencarikan jalan
keluar. Di antara restrukturisasi yang ditawarkan adalah jangka waktu kredit
yang lebih fleksibel, sesuai dengan kemampuan cash flow yang dimiliki.
Bila perlu pejabat bank
memberikan advis manajemen kepada debitor, termasuk memberikan solusi atas
sumber pendanaan baru dalam jangka pendek, seperti divestasi harta tetap yang
kurang produktif. Atau mencarikan calon investor yang berminat untuk menanamkan
modalnya pada usaha debitor dengan imbalan dan jaminan yang jelas.
Selanjutnya, bank juga dapat
menawarkan pemberian suku bunga kredit yang lebih rendah kepada debitor yang
sedang mengalami musibah banjir. Ini harus dilakukan dengan penuh perhitungan.
Strategi seperti ini hanya dapat
dilaksanakan jika ada penghematan yang diperoleh dari selisih antara biaya
pengurangan suku bunga dengan pembentukan biaya pencadangan kreditnya. Dalam
kondisi ini, posisi pihak bank masih lebih baik.
Namun, harus disadari bahwa
pemberian suku bunga ringan tidak diberlakukan untuk selama jangka waktu
restrukturisasi, tetapi hendaknya disesuaikan dengan peningkatan cash flow
usaha debitor.
Selanjutnya, untuk kewajiban
bunga yang tertunggak dapat ditunda pembayarannya dengan mempertimbangkan
kemampuan keuangan debitor. Kewajiban seperti ini tidak boleh dinihilkan,
karena ia merupakan sumber pendapatan bagi bank.
Dengan adanya restrukturisasi
kredit, diharapkan debitor dapat menerima beberapa insentif kemudahan dalam
pembayaran kreditnya, salah satunya seperti yang telah diterangkan di atas.
Artinya, pembayaran kewajiban
debitor kepada bank akan lebih ringan untuk sementara waktu, di mana dalam
jangka waktu tersebut akan terjadi peningkatan modal intern (internal capital
growth) usaha debitor.
Diharapkan, pelan-pelan pada
akhirnya, debitor kembali mampu untuk melakukan aktivitas skala bisnisnya
seperti semula. Pada saat itulah, kemampuan untuk membayar kewajiban
perbankannya akan meningkat seperti pada saat sebelum adanya musibah banjir.
Sumber :http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL
Tidak ada komentar:
Posting Komentar