Jika dilihat dari rasio efisiensi yang tecermin dari cost to income ratio (CIR), sebenarnya perbankan Indonesia relatif cukup efisien. Perbankan di Asia memiliki rata-rata CIR berkisar 46%. Sementara CIR perbankan Indonesia berkisar 50%. Tidak jauh-jauh amat memang.
Sementara jika tolok ukurnya adalah rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO), rasio untuk perbankan Indonesia berkisar 75%. Rasio BOPO ini sudah memperhitungkan biaya provisi atau cadangan.
Lantas, mengapa Bank Indonesia (BI) masih menuding perbankan Indonesia belum efisien? Lontaran pertanyaan ini mengemuka menyusul munculnya pernyataan petinggi bank sentral bahwa ditengarai salah satu penyebab inefisiensi perbankan nasional karena gaji direksi yang terlalu tinggi. Apa memang benar demikian?
Sebenarnya banyak faktor yang menyebabkan operasional perbankan Indonesia belum mencapai titik efisiensi yang optimal.
1.
struktur organisasi bank yang cenderung melebar dan
kegemukan.
2.
komposisi antara unit non bisnis (unit pendukung) dan
unit bisnis yang tidak proporsional di mana unit non bisnis yang menjadi cost
center lebih besar atau banyak ketimbang unit bisnis yang menjadi profit
center.
3.
penempatan pejabat bank yang tidak tepat dengan
kebutuhan bisnisnya lantaran prinsip the right man on the right job
tidak dilaksanakan dengan baik. Yang mengenaskan, pejabat bank yang belum
berpengalaman diberi posisi dan tanggung jawab yang tinggi melebihi
kapabilitasnya. Akibatnya, pejabat seperti ini bukannya menjadi asset bernilai
bagi bank, sebaliknya malah menjadi liabilities.
4.
kapabilitas sumber daya manusianya di bawah rata-rata,
terutama terkait dengan kapabilitas dalam mengendalikan risiko bisnis, sehingga
bank dihadapkan pada biaya operasional yang besar tanpa terkendali karena
kewajiban membentuk provisi atau cadangan kerugian. Kewajiban pejabat memiliki
sertifikat manajemen risiko sesuai level jabatan seperti dipersyaratkan oleh
regulator tidak dipatuhi sehingga potensi risiko kredit, risiko operasional dan
risiko likuiditas senantiasa mengancam.
5.
pejabat bank dari tingkat pusat hingga kantor cabangnya
sering terlibat ke dalam aktivitas non korporasi (contohnya aktivitas
seremonial) yang cenderung boros anggaran.
6.
kesalahan bank dalam menetapkan visi, misi dan strategi
sehingga terjadi deviasi yang semakin melebar tecermin dari capaian target
bisnis yang rendah di bawah rata-rata industrinya.
7.
komposisi pengurus bank yang tidak ideal atau
proporsional di mana lebih banyak pos direksi non bisnis ketimbang direksi
bisnisnya. Ibarat kesebelasan sepakbola, komposisi direksi lebih banyak pemain
bertahan (full back) dan gelandang bertahan, sementara penyerangnya
hanya satu alias striker tunggal.
Masih banyak lagi faktor yang membuat operasional bank tidak efisien. Yang
pasti, jika kesembilan faktor penyebab di atas dapat diselesaikan, tingkat
efisiensi operasional bank bakal membaik dibandingkan sebelumnya.Lalu, soal tingginya remunerasi bankir di Indonesia yang dituding menjadi penyebab inefisiensi, hal ini perlu pengkajian lebih dalam. Dalam praktik umum, besaran remunerasi, gaji, tantiem dan bonus untuk pengurus dan pejabat bank sepertinya menjadi domainnya industri, bukan domainnya regulator.
Menurut sinyalemen, rata-rata remunerasi bankir di Indonesia dalam setahun ternyata lebih tinggi. Berdasarkan hasil survei Bank Indonesia, rata-rata remunerasi bankir di Indonesia mencapai Rp 12 miliar. Angka ini dua kali lipat dari bankir di Malaysia dan hampir 12 kali lipat dari Filipina.
Rata-rata remunerasi bankir Malaysia hanya sebesar Rp 5,6 miliar; sedangkan di Filipina hanya Rp 1,1 miliar setahun. Bahkan angka remunerasi direksi dari empat perbankan di Indonesia itu lebih tinggi dibandingkan yang ada di Thailand. Karena itu, BI akan mengkaji gaji direksi perbankan di Indonesia.
Ironisnya, gaji pegawai perbankan justru tidak menduduki tempat teratas. Rata-rata gaji pegawai bank di Indonesia masih kalah dibandingkan dengan Thailand dan Malaysia. Thailand menduduki tempat teratas dengan rata-rata gaji karyawan mencapai Rp 300 juta per tahun. Di posisi kedua, Malaysia dengan Rp 236 juta per tahun. Baru disusul Indonesia sebesar Rp 193 juta per tahun. Sedangkan Filipina kembali di posisi paling buncit dengan Rp 93 juta per tahun.
Sementara itu, sumbangan biaya tenaga kerja terhadap overhead costs, Indonesia menduduki peringkat tertinggi dengan persentase 2,44% terhadap total biaya perbankan. Sementara itu, Filipina 1,81%, Malaysia 1,74%, dan Thailand 1,34%.
Jadi, kalau ada penilaian bahwa salah satu faktor penyebab rendahnya tingkat efisiensi perbankan karena tingginya biaya remunerasi dan bonus para direksi, hal ini harus direnungkan lebih dalam. Perlu dilakukan penelitian lagi untuk memastikan apakah benar penyebab inefisiensi bank di Indonesia karena tingginya remunerasi bankir. Maklum, jika salah dalam menyimpulkan, bisa menimbulkan efek yang tidak baik.
Masuk akal jika kemudian Perhimpunan Bank-bank Umum Nasional (Perbanas) berpendapat tidak perlu mempertentangkan remunerasi, termasuk gaji direksi perbankan, di Tanah Air. Hal itu hanya akan menjadi polemik dan kontroversi yang kontraproduktif. Ini lantaran pemberian remunerasi dan gaji direksi ataupun karyawan bank adalah hak dari masing-masing bank. Adalah hal wajar pemilik dan pemegang saham memberikan apresiasi atas kinerja direksi dan karyawan bank dalam mengembangkan bisnisnya.
Jadi, sebenarnya delapan faktor yang disebutkan di atas yang sebenarnya menjadi sumber inefisiensi bank dan sudah semestinya bank-bank merenungkan dan mencari jalan keluarnya. Beberapa upaya yang harus dilakukan, antara lain:
- memperbaiki struktur organisasi agar lebih business oriented;
- merekomposisi pos-pos direksi agar lebih agresif melakukan penetrasi pasar;
- mengurangi semua aktivitas non korporasi;
- meninjau ulang visi, misi dan strategi pengembangan bisnis;
Sumber: http://www.infobanknews.com/2012/07/menyoal-inefisiensi-perbankan-indonesia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar