Nama : Jhon Philip Sinulingga
NPM : 23210754
Kelas : 4EB10
Judul : AKUNTAN PUBLIK DALAM PENEGAKAN
KODE ETIK PROFESI
Pengarang : Listya Kanda Dewi
Latar Belakang
Seiring dengan berkembangnya
industri dan bisnis, profesi akuntan publik juga mengalami perkembangan.
Kebutuhan dunia usaha, pemerintah, dan masyarakat luas akan jasa akuntan publik
inilah yang menjadi pemicu perkembangan tersebut. Machfoedz (1997), seorang
akuntan dikatakan profesional apabila memenuhi tiga syarat, yaitu berkeahlian, berpengetahuan
dan berkarakter. Karakter menunjukkan personality seorang profesional, yang diantaranya
diwujudkan dalam sikap dan tindakan etisnya.
Sikap
dan tindakan etis akuntan publik diatur dalam Kode Etik Akuntan Publik. Kode etik
tersebut dimaksudkan sebagai panduan tentang bagaimana seharusnya para akuntan bertindak.
Namun, karena profesi ini semakin berkembang dan peningkatan persaingannya pun semakin
tajam, maka upaya untuk menerapkan kode etik dengan tepat menjadi semakin sulit.
Farhan
(2009: 3) menyebutkan bahwa banyak laporan keuangan perusahaan yang mendapat
unqualified opinion dari akuntan publik, namun justru setelah laporan itu
keluar, perusahaan yang bersangkutan mengalami kepailitan. Hal ini
mengindikasikan ada yang tidak beres dalam proses pemeriksaan laporan keuangan
tersebut. Pada kenyataannya memang selalu ada penyimpangan-penyimpangan yang
dilakukan oleh para akuntan publik. Contoh kasus penyimpangan antara lain
adalah skandal antara Enron Corporation dengan Kantor Akuntan Publik (KAP)
Arthur Anderson.
Adanya
skandal pelanggaran kode etik tersebut telah menciderai profesi akuntan publik
dan mengakibatkan citra atau kepercayaan publik terhadap akuntan publik semakin
merosot. Terjadinya kasus-kasus penyimpangan kode etik tersebut juga
menunjukkan bahwa menegakkan kode etik akuntan publik tidaklah mudah. Profesi
akuntan publik sering dihadapkan pada dilema etis dari setiap jasa yang
ditawarkan. Situasi konflik dapat terjadi ketika seorang akuntan publik harus
membuat professional judgement dengan mempertimbangkan sudut pandang moral.
Situasi konflik atau dilema etis seperti hal di atas merupakan tantangan bagi
profesi akuntan publik.
Berdasarkan
hal tersebut, penulis menganggap bahwa dalam membangun citra akuntan publik di
mata publik, akuntan publik harus bisa menjalani perannya sesuai dengan Standar
Profesional Akuntan Publik (SPAP) dan kode etik yang berlaku.
Metodologi Penelitian
Penelitian
ini merupakan penelitian kualitatif. Dengan metode kualitatif, maka data yang
didapat akan lebih lengkap, lebih mendalam, kredibel, dan bermakna sehingga
tujuan penelitian dapat dicapai (Sugiyono,2010: 181).
Yang
menjadi obyek dalam penelitian ini adalah etika akuntan publik dalam KAP atau dalam
arti bahwa bagaimana akuntan publik menerapkan etika profesi dalam menjalankan kewajibannya.
Pemilihan informan dalam penelitian ini menggunakan teknik snowball sampling.
Dalam
penelitian ini, peneliti mengambil sumber data berupa data primer dan data sekunder.
Data primer dalam penelitian ini diperoleh dari hasil wawancara penulis dengan pemimpin
dan beberapa anggota KAP. Sedangkan data sekunder yang digunakan antara lain adalah
dokumentasi yang berasal dari Kode Etik Akuntan Publik, Undang-Undang Akuntan Publik,
Standar Profesional Akuntan Publik, buku-buku, artikel, makalah, dan
jurnal-jurnal yang berhubungan dengan penelitian ini.
Teknik
analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data
kualitatif, mengikuti konsep yang diberikan Miles & Huberman, yaitu data
reduction, data display, dan conclusion drawing / verification.
Uji
keabsahan data yang dilakukan dalam penelitian ini, antara lain adalah:
1.
Uji Kredibilitas, yang meliputi:
a.
Perpanjangan pengamatan
b.
Peningkatan ketekunan
c.
Analisis kasus negatif
d.
Menggunakan bahan referensi
e.
Diskusi dengan teman sejawat
2.
Uji Transferability
3.
Uji Comfirmability
Hasil Penelitian
Penelitian
ini dilakukan di KAP di Kota Malang. Orang-orang yang menjadi informan dalam
penelitian ini adalah pihak yang secara aktif dan komprehensif terkait langsung
dalam lingkup akuntan publik. Mereka adalah orang-orang yang bisa dibilang memiliki
banyak pengalaman terkait etika profesi. Mereka sudah pernah memberikan
macam-macam jasa assurance. Mereka juga telah menemui berbagai klien dalam
bidang bisnis yang berbeda-beda. Kualifikasi informan terdiri atas tiga jabatan
auditor: partner, manajer, dan senior auditor.
Posisi
akuntan publik berada di tengah-tengah para pemangku kepentingan pengguna informasi
laporan keuangan. Ada kepentingan manajemen perusahaan, kepentingan para shareholder,
dan pihak luar lain yang mana kepentingannya berbeda-beda. Posisi ini membuat akuntan
publik banyak bersinggungan dengan masalah yang biasa disebut dengan konflik
audit atau dilema etis. Arens & Loebbecke (2000) menyatakan dilema etis
adalah situasi yang dihadapi seseorang sehingga keputusan mengenai perilaku
yang layak harus dibuat. Dilemma etis yang biasanya sering kali muncul adalah dilemma
etis yang berkaitan dengan:
1.
Penerimaan Perikatan: Klien versus Keahlian Profesional
Dilema etis ini biasanya dialami ketika
ada penerapan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) baru, dimana calon klien pertama
kali menerapkan SAK tersebut dalam laporan keuangannya. Dalam hal ini tindakan
yang diambil adalah akan mengukur terlebih dahulu kemampuan tim terkait
pengetahuan dan penerapan SAK baru tersebut, apakah sudah memadai atau belum,
baru kemudian memutuskan untuk menerima atau menolak perikatan itu.
2.
Imbalan Jasa Profesional (Fee minimal)
Berdasarkan isi paragraf 1, seksi 240,
Kode Etik Akuntan Publik bagian B, sebenarnya tidak ada patokan berapa jumlah
imbalan jasa yang seharusnya diterima oleh KAP. Imbalan jasa ditentukan
berdasarkan kesepakatan antara klien dan KAP. Namun pada kenyataannya untuk
mencapai kesepakatan harga tidaklah mudah. Beberapa klien selalu meminta
pembayaran yang lebih rendah dari pada yang diusulkan. Padahal kalau dibandingkan
antara jumlah KAP dengan perusahaan yang membutuhkan jasanya, seharusnya
perusahaan membayar mahal, karena jumlah perusahaan yang butuh diaudit jauh
lebih banyak dibandingkan dengan jumlah KAP. Harga (fee) seharusnya naik atau stabil
pada tingkat yang tinggi.
3.
Independensi
Setiap ketentuan yang mengatur tentang
akuntan publik, baik itu SPAP, SPM, maupun kode etik mewajibkan akuntan publik
untuk bersikap independen terhadap klien sehubungan dengan kapasitas mereka
untuk melindungi kepentingan publik. Menurut KBBI, independen artinya berdiri
sendiri, berjiwa bebas, tidak terikat pada pihak lain. Independensi merupakan
hal yang unik dalam profesi akuntan, karena akuntan dituntut independen dari
pengaruh klien sedangkan di sisi lain akuntan harus memenuhi keinginan klien
karena klien lah yang membayar imbalan.
Upaya
–upaya yang telah dilakukan informan dalam penegakan kode etik antara lain adalah:
1. Meningkatkan
religiusitas
Etika
erat kaitannya dengan moralitas. Ludigdo (2007: 34) mengungkapkan bahwa inti
dari terletak dalam sikap hati seseorang. Sikap hati yang demikian tidak
terlepas dari hubungan transendensi manusia dengan Tuhan. Oleh karena itu
peningkatan religiusitas diperlukan untuk memperkokoh sikap hati.
2. Meningkatkan
Kompetensi dan Mengikuti Pelatihan
Seperti
yang tercantum dalam UU AP, setiap akuntan publik itu wajib menjaga kompetensi
melalui pelatihan profesional berkelanjutan. Meningkatkan kemampuan dan
kompetensi itu sangat penting karena keahlian akuntan publik mempunyai dampak
langsung terhadap pekerjaan. Dalam kode etik juga disebutkan bahwa pemeliharaan
kompetensi professional membutuhkan kesadaran dan pemahaman yang berkelanjutan
terhadap perkembangan teknis profesi dan perkembangan bisnis yang relevan. Hal
ini berarti akuntan publik harus terus meng-update pengetahuan dan kemampuannya
secara rutin. Hal yang bisa dilakukan terkait hal ini adalah dengan mengikuti
pendidikan profesi atau melalui pelatihan.
3. Membangun
keteladanan (bagi pemimpin KAP)
Pemimpin
KAP harus bisa memberikan teladan yang baik kepada staf dalam menjaga perilaku
etis. Penelitian dari Maryani & Ludigdo (2001) juga membuktikan 64,91 %
responden menyatakan bahwa perilaku atasan mempengaruhi sikap dan perilaku etis
akuntan.
4. Mendesain
Sistem
Ketiga
upaya di atas merupakan upaya pribadi para informan yang berasal dari diri sendiri.
Selain upaya individu, juga diperlukan upaya dari organisasi untuk menegakkan kode
etik. Salah satu upaya para informan yang dilakukan dalam konteks organisasi tersebut
adalah dengan membangun sistem di KAP yang menunjang perilaku etis.
5. Menciptakan
kultur etis
Upaya
selanjutnya yang dibangun para informan secara bersama-sama dengan rekan seprofesinya
adalah menciptakan kultur etis dalam KAP. Adanya kultur yang bersifat lebih lunak
ini bisa mengimbangi kehadiran sistem yang tegas. Dalam penelitian Maryani
& Ludigdo (2001) tersirat bahwa 76,32 % responden menyatakan budaya organisasi
mempengaruhi sikap dan perilaku etis akuntan. Budaya organisasi yang
dikembangkan informan untuk membantu menegakkan etika, kebanyakan adalah
kekeluargaan, keterbukaan, dan kerja sama. Ketiga kultur itu bias dibangun
melalui pola komunikasi.
Walaupun
beberapa upaya telah dilakukan, namun jalannya penegakan kode etik belum bisa
mulus karena beberapa hambatan berikut:
1.
Tidak semua akuntan publik memiliki kesadaran etis yang tinggi dan untuk
menumbuhkan
kesadaran
etis itu tidaklah mudah.
2.
Cara untuk mengontrol etika susah, sehingga kasus pelanggaran tidak banyak
diketahui.
3.
Adanya sifat sungkan dari sesama profesi untuk mengadukan pelanggaran kode
etik.
4.
Belum jelasnya mekanisme pemberian sanksi dan proses peradilan atas kasus
pelanggaran
kode
etik.
Berbagai
upaya telah dilakukan, namun pelanggaran kode etik rupanya bagaikan masalah klasik
yang masih mengusik. Rintangan baru bermunculan, seolah menyisakan pekerjaan
rumah untuk para profesional. Menciptakan dunia akuntan publik tanpa
pelanggaran etika memang sebuah mimpi besar yang tidak mudah diraih, tapi tidak
mustahil untuk tercapai. Semua pihak yang berkepentingan hendaknya secara
simultan mengambil peran mereka dan saling bersinergi dalam menjalankan peran
masing-masing untuk perbaikan penegakan kode etik akuntan publik. Pihak-pihak
yang diharapkan adalah:
1.
Akuntan Publik
Akuntan publik tetap menjadi pemeran
utama dalam penegakan kode etik ini. Setiap profesional harus menjaga citra
diri dengan terus memperbaiki kualitas etikanya. Meningkatkan religiusitas,
memelihara kompetensinya dengan mengikuti pelatihan, serta mengingatkan akuntan
publik lain di sekitarnya harus terus dilakukan. Bagi akuntan publik yang
menjabat sebagai pemimpin, perannya bertambah satu yaitu memberi keteladanan bagi
para stafnya.
2.
Kantor Akuntan Publik (KAP)
KAP berperan sebagai tempat bernaung
akuntan publik yang mempunyai pengaruh sangat besar terhadap perkembangan
profesional. Sistem yang tegas dan budaya organisasi harus terus dievaluasi dan
ditingkatkan agar terbentuk atmosfer yang kuat guna menunjang perilaku etis
akuntan publik di dalamnya.
3.
Asosiasi Profesi Akuntan Publik / Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI)
Para informan sepakat bahwa IAPI harus
bertindak lebih untuk menegakkan etika. Ada dua hal pokok yang harus dibenahi
oleh IAPI, yaitu pencegahan dan penanggulangan. Langkah pencegahan yang bisa
dibuat pertama adalah dengan mengadakan program peningkatan etik dan
pengembangan moral. Langkah pencegahan yang kedua yaitu melalui kontrol atau
pengawasan akuntan publik oleh IAPI. Terakhir, untuk mencegah pelanggaran kode
etik, IAPI seharusnya juga bisa memakmurkan akuntan publik. Ini dilakukan untuk
mengantisipasi masalah fee yang terlalu rendah. Terkait hal ini, IAPI bisa
mengeluarkan kebijkan tentang tarif minimal pemberian jasa.
4.
Pembuat Regulasi
Pembuat regulasi berarti adalah dari
pihak pemerintah yang berhubungan dengan profesi akuntan publik, bisa dari
Menteri Keuangan, Departemen Keuangan, Bappepam, atau badan lain yang terkait.
Menurut Raka, Bappepam juga bisa melakukan pembinaan seperti halnya asosiasi
dan departemen bisa melakukan review periodik yang lebih merata.
5.
Pengguna Jasa
Peran yang bisa dilakukan oleh pengguna
jasa adalah membantu memberi laporan dan memberi sanksi moral ketika menjumpai
akuntan publik atau KAP yang melanggar kode etik. Selain itu sanksi moral juga
bisa dilakukan oleh klien, perbankan, atau badan perpajakan.
6.
Sekolah dan Universitas
Untuk membentuk pribadi yang menjunjung
tinggi nilai-nilai etika dan moral, perilaku etis perlu ditanamkan sejak dini.
Selain dalam lingkungan keluarga, hal ini juga bisa diterapkan dalam jenjang
pendidikan. Pada jenjang sekolah, moralitas hendaknya kerap dihimbau dan
diajarkan karena guru juga mempunyai tanggung jawab untuk membimbing dan
mengingatkan. Pada jenjang pendidikan tinggi, mahasiswa sudah dianggap dewasa
dan tidak perlu dibimbing. Selain itu, kuliah etika saja juga tidak cukup,
lingkungan yang menjunjung moralitas juga harus diupayakan di lingkungan
kampus. Jadi, sebagai pencetak akuntan-akuntan baru, seharusnya perguruan
tinggi juga ikut andil dalam membantu menegakkan kode etik.
Demikianlah
peran-peran yang ditawarkan para informan untuk membangun dunia akuntan publik
yang lebih beradap. Selain itu, akuntan publik juga harus melakukan upaya-upaya
tersebut dengan penuh kesadaran. Karena dengan kesadaran, seseorang akan bias membuat
pilihan mana yang baik dan buruk dan secara otomatis akan mampu melakukan tindakan
yang baik. Akuntan publik yang memainkan perannya dengan kesadaran berarti akuntan
publik tersebut mempunyai pengetahuan dan pemahaman yang baik tentang etika profesi,
mampu mengambil sikap ketika dihadapkan dengan dilema etis, dan mampu menentukan
perilaku yang bijak dengan tetap mempertahankan etika profesi. Dengan
solusi-solusi tersebut diharapkan semua akuntan publik bisa menyadari tanggung jawabnya
dan menyayangi profesinya sehingga menjadi auditor yang beretika, bermoral
tinggi, dan mengedepankan nurani. Bahkan ketika menghadapi situasi yang kacau,
moral dan kode etik bukan sekedar lawakan belaka lagi, melainkan bisa dijadikan
senjata untuk melawan situasi konflik.
Kesimpulan
Penelitian
ini membahas mengenai upaya-upaya yang dilakukan akuntan publik dalam menegakkan
kode etik profesi pada suatu Kantor Akuntan Publik (KAP). Selain itu,
penelitian ini juga memberi gambaran terkait tantangan dan dilema etis yang
dialami oleh para praktisi akuntan publik dalam menerapkan kode etik akuntan
publik. Tujuan yang ingin dicapai dengan penelitian ini adalah mendeskripsikan tentang
bagaimana akuntan publik menegakkan kode etik profesi dalam menjalankan
tugasnya.
Untuk
mencapai tujuan tersebut, penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif.
Dengan metode kualitatif, maka data yang didapat akan lebih lengkap, mendalam, kredibel,
dan bermakna. Subjek dalam penelitian ini adalah akuntan publik di Kota Malang.
Data diperoleh melalui dokumentasi, wawancara, dan observasi.
Hasil
dari penelitian ini menunjukkan bahwa penyebab pelanggaran kode etik berawal dari
dilema etis. Dilema etis yang sering muncul adalah yang berkaitan dengan (1)
Penerimaan perikatan (Klien versus Keahlian Profesional); (2) Imbalan jasa
profesional (fee minimal); (3) Independensi. Upaya-upaya yang telah dilakukan
informan dalam penegakan kode etik antara lain adalah (1) Meningkatkan
religiusitas; (2) Meningkatkan kompetensi dengan mengikuti pelatihan; (3)
Membangun keteladanan (bagi pemimpin KAP); (4) Mendesain sistem; (5)
Menciptakan kultur etis.
Menegakkan
kode etik profesi itu tidaklah mudah, karena penyimpangan kode etik masih terus
terjadi. Oleh karena itu upaya-upaya tersebut perlu dilakukan secara kontinyu
dan akuntan publik harus melakukannya dengan penuh kesadaran. Selain itu juga
dibutuhkan peran semua pihak yang berkepentingan untuk saling bersinergi demi terwujudnya
penegakan kode etik akuntan publik yang lebih baik.
Sumber :
http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&ved=0CC0QFjAA&url=http%3A%2F%2Fjimfeb.ub.ac.id%2Findex.php%2Fjimfeb%2Farticle%2Fdownload%2F309%2F256&ei=xd6ZUrLEIo-ZiQeduYH4CQ&usg=AFQjCNFeB6vbQw2IBCJpR4-4SZECrcvVSA&sig2=nydC98g4fJFjUawDqyw8iA&bvm=bv.57155469,d.aGc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar