Outsourcing
Outsourcing
terbagi atas dua suku kata: out dan sourcing. Sourcing berarti mengalihkan
kerja, tanggung jawab dan keputusan kepada orang lain. Outsourcing dalam bahasa
Indonesia berarti alih daya. Dalam dunia bisnis, outsourcing atau alih daya
dapat diartikan sebagai penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan yang sifatnya
non-core atau penunjang oleh suatu perusahaan kepada perusahaan lain melalui
perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh.
Dasar Hukum Outsourcing
Dasar
hukum outsourcing adalah Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan:
Pasal
64
Perusahaan
dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya
melalui perjanjian penyediaan jasa Pekerja/Buruh yang dibuat secara tertulis.
UU Ketenagakerjaan tidak memberikan definisi mengenai apa
yang dimaksud dengan outsourcing, namun dari pengertiannya outsourcing atau
alih daya ini dapat diartikan sebagai pemindahan atau pengalihan sebagian proses bisnis kepada suatu badan
penyedia jasa atau pihak lain. Pada dasarnya apabila dijalankan dengan
baik maka pelaksanaan sistem outsourcing ini dapat memberikan
dampak yang positif baik bagi para pengusaha, para pekerja, bahkan bagi
pemerintah itu sendiri. Berikut dampak positif dari penerapan sistem outsourcing ini
:
Bagi Pengusaha :
o
Dapat meningkatkan fokus perusahaan;
o
Pemanfaatan kemampuan yang lebih
baik;
o
Pembagian resiko dalam turn over
tenaga kerja;
o
Efisiensi biaya.
Bagi masyarakat dan pekerja :
o
Mendorong kegiatan ekonomi penunjang
di lingkungan masyarakat;
o
Mengurangi penganguran
o
Mencegah urbanisasi
Bagi Pemerintah :
o
Mendorong pertumbuhan ekonomi secara
nasional
o
Pengembangan usaha kecil, menegah,
dan koperasi
Namun
dibalik dampak positif tersebut, ternyata muncul banyak permasalahan terkait
tenaga kerjaoutsourcing ini. berikut beberapa permasalahan yang
timbul akibat dari tenaga kerja outsourcing ini :
o
Ketidakpastian status
ketenagakerjaan
o
Ancaman PHK bagi tenaga kerja
o
Tidak adanya kepastian karir
o
Eksploitasi tenaga kerja
Lalu apakah perusahaan dapat sesuka hati menetapkan untuk
memilih apakah akan menggunakan pekerjaoutsourcing atau PKWT atau
pekerja tetap dalam menjalankan usahanya? UU Ketenagakerjaan telah
mengantisipasi hal ini dengan membatasi kegiatan apa saja yang diperbolehkan
untuk dilakukan melalui PKWT ataupun outsourcing.
Dalam pasal 59 UU Ketenagakerjaan disebutkan bahwa “
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu
yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam
waktu tertentu, yaitu :
1.
Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
2.
Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama
dan paling lama 3 (tiga) tahun.
3.
Pekerjaan yang bersifat musiman; atau
4.
Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk
tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
Dalam ayat (2) nya disebutkan bahwa
perjanjian kerja waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang
bersifat tetap. Dalam pasal 65 Ayat (2) disebutkan bahwa “ pekerjaan yang dapat
diserahkan kepada perusahaan lain harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut
:
1.
Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
2.
Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak lagsung dari pemberi pekerjaan;
3.
Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan
4.
Tidak menghambat proses produksi secara langsung
Namun pada kenyataannya, sejumlah
aturan tersebut ternyata belum dirasa cukup untuk menyelesaikan berbagai
persoalan yang ada. Permasalahan ini bahkan sudah pernah diajukan ke Mahkamah
Konstitusi dan sebagai hasilnya Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan Keputusan Mahkamah Konstitusi No
27/PUU-IX/2011 dimana pada intinya keputusan tersebut menyatakan
bahwa :
“frasa
perjanjian kerja waktu tertentu” dalam pasal 65 ayat (7) dan frasa “perjanjian
kerja untuk waktu tertentu” dalam pasal 66 ayat (2) huruf b UU Ketenagakerjaan
:
· bertentangan
dengan UUD 1945 sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak diisyaratkan
adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya
tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian
pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa/pekerja
· tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut
tidak diisyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh
yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang
melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan
penyedia jasa/pekerja
Perlu diketahui bahwa Keputusan MK tersebut tidaklah
mencabut keberlakuan pasal UU Ketenagakerjaan yang mengatur mengenai outsourcing,
namun hanya membatasi agar kepentingan para pekerja outsourcingini
dilindungi.
Keputusan
MK ini juga telah ditindaklanjuti oleh Kementerian Tenaga Kerja dan
Transportasi (Kemenakertrans) dengan menerbitkan Surat Edaran No B.31/PHIJKS/I/2012 tentang pelaksanaan putusan mahkamah
konstitusi No 27/PUU-IX/2011. Dengan demikian Mahkamah Konstitusi telah
memutuskan setiap pekerja outsourcing harus mendapatkan hak
yang sama dengan pekerja non outsourcing. Selain itu
perusahaan outsourcing harus memperhitungkan masa kerja yang
ada sebagai acuan untuk menentukan upah dan hak-hak lainnya di perusahaan outsourcing yang
bersangkutan, termasuk terjadi hal pengalihan kepada perusahaan penerima
pekerjaan yang lain.
sumber :
http://thepresidentpostindonesia.com/?p=1024